
Justine Raharjo
PAGI itu aku berjalan santai di sekitar rumahku. Udara pagi yang begitu segar ditambah nyanyian merdu para burung seakan menambah semangat diriku. Suasana di daerah itu memang nyaman. Jalan-jalan dipayungi pohon-pohon yang tumbuh lebat. Entah mengapa, tubuhku sangat ringan hari ini. Membuatku benar-benar menikmati perjalanan.
Ah, alangkah indahnya hidup ini! Kuhirup dalam-dalam udara pagi yang segar sampai puas. Kurentangkan kedua tanganku, ingin terbang saja rasanya. Sungguh tak ada satu pun beban yang kurasakan hari ini. Aku hanya mengumbar senyum paling lebar untuk menunjukkan indahnya dunia.
"Pagi, Nek!" sapaku pada Nek Retno.
"Ryan? Wah, ceria sekali kamu hari ini, Nak!"
"He he he! Hidup kan cuman sekali Nek, jadi harus dinikmati dong!"
Nenek hanya tertawa kecil. Kugandeng tangannya untuk membantunya menyeberang jalan. Jalan memang tidak terlalu ramai, tapi Nek Retno adalah seorang yang buta dan sebatang kara. Kecelakaan 50 tahun silam membuatnya buta dan kehilangan suami. Dia selalu menungguku dengan setia. Dia sudah kuanggap seperti nenekku sendiri.
"Makasih ya, Nak!" katanya sembari menepuk tanganku yang memegang tangannya sesampainya di seberang.
"Sama-sama, Nek!" balasku. Aku pun meninggalkannya.
Dari kejauhan aku bisa melihat masih banyak orang di halte. Ini menandakan bahwa bus yang dikemudikan Mas Djiman belum datang. Sesampainya di halte, aku berdiri menghadap jalan, menunggu bus sembari tersenyum. Tiba-tiba senyumku langsung pudar, kurogoh kantong belakang celana, dan...
"Dompetku!!!" teriakku, kupikir aku akan mengejutkan orang sehalte.
Tapi, tak satu pun di antara mereka yang memperhatikanku. Bahkan, melihat ke arahku saja tidak. Tidak ada sepuluh menit yang lalu, aku berbicara dalam hati tentang kematian rasa kepedulian mereka. Ternyata, aku mengalaminya lagi.
"Mu.. mungkin ketinggalan di kamar!" kataku panik sembari tetap meraba-raba tubuhku berusaha meyakinkan diri bahwa dompetku benar-benar tidak ada padaku. Aku bergegas lari kembali ke rumah.
Kulewati lagi Nek Retno, mungkin dia menyadari bahwa aku kembali. Nek Retno memang hebat. Kendati buta, dia seperti punya indra keenam. Namun, aku sudah tak ada waktu untuk menyapanya lagi. Dia hanya tersenyum sembari menggeleng-gelengkan kepala. Kuperlebar langkah kakiku, berusaha semakin cepat sampai di rumah. Tampaknya, rencana tiba ke kantor dengan penampilan terbaik pun akan gagal hari ini. Keringat sudah mengucur terlalu deras.
Kulewati kampungku, sebuah bendera putih dengan palang merah dipasang di tembok sebelum masuk kampung. Aku belum melihatnya tadi pagi, siapa yang mati hari ini? Ah sudahlah, aku juga sudah tak ada waktu untuk terlalu peduli. Lagi pula, ingin rasanya berhenti jadi orang baik. Ibu-ibu belum selesai bergosip rupanya, mengenakan pakaian berkabung pun masih bisa bergosip seperti itu. Malah semakin ramai saja.
Aduh padat sekali kampung ini dengan manusia, masuk saja sepertinya susah, kupanjat pohon supaya aku bisa langsung naik ke kamarku di loteng. Yah!!! Kupegang dompetku erat-erat.
"Akhirnya, kutemukan kamu, sayang!" sembari kuciumi dompet kulit itu.
Aku keluar kamar, kuturuni loteng untuk menuju ruang tamu. Susah juga naik pohon setelah sekian lama berhenti melakukannya. Tampaknya, tubuhku pun mulai menua. Tapi, tunggu sebentar! Ada apa ini?! Mengapa ramai sekali ruang tamu ini?! Ibu?! Kenapa Ibu menangis tersedu?! Aku bergegas menuruni tangga. Kugapai Ibuku.
''Ibu, ada apa ini?!" kataku panik.
Ibu tak menjawabku, dia terus-menerus menangis. Kakak kemudian membuka kain batik yang menutupi mayat itu. Astaga!!!! Itu aku!!!! Aku telah meninggal?! Kepalaku tiba-tiba sakit sekali, kuremas rambutku. Apa yang telah terjadi?!! Aku langsung terduduk di samping ibuku. Kupejamkan mataku. Aku mengingatnya!!! Aku mengingatnya!!! Aku mengingatnya!!! Kataku berulang-ulang sembari menitikkan air mata. Bukankah semalam sebuah mobil yang melaju kencang menabrakku ketika baru pulang kerja.
Aku terduduk di pinggir pantai. Kupandangi mentari yang segera kembali ke peraduannya. Sentuhan hangat mentari di tubuhku oleh cahayanya kuterima dengan senyum mengembang di wajahku. Ternyata, aku sudah menyelesaikan semuanya dengan baik. Aku sudah lakukan dan jalani kehidupanku dengan sebaik-baiknya. Tidak kusangka seorang buta seperti Nek Retno benar-benar peka terhadapku, kendati telah tak bernyawa. Aku juga baru menyadari kenapa tidak ada yang memperhatikan kepanikanku di halte. Aku tersenyum dengan perasaan tenang dan bahagia.
Cahaya mentari itu semakin terang dan semakin terang. "Aku kembali!" kataku. Tubuhku mulai terangkat perlahan. Nyaman sekali rasanya. Seperti sedang berada dalam buaian hangatnya kasih. Aku pulang dengan tanpa beban. Tanpa beban!
jawapos.com



No comments:
Post a Comment