
Oleh: Anita Nur S.
DEDAUNAN bergerak lembut mengikuti ke mana arah angin bertiup. Sayangnya, meskipun angin muncul, ia tidak juga berhasil membuat udara jadi lebih sejuk. Matahari tepat di atas kepala. Bersinar tanpa ampun hingga membuat semua sepakat hari ini panas sekali.
Meskipun panas begitu, semangat anak-anak SMA Garuda untuk terus melanjutkan aktivitas mereka tidak berkurang. Kelompok-kelompok kecil menyebar di setiap sudut sekolah. Kegaduhan hari itu memang mendapat dispensasi dari pihak sekolah. Tentu saja karena seminggu ini mereka semua sibuk menyiapkan CLASIXZ, acara pentas seni SMA Garuda.
Brinna masih asyik terpekur menatap lembar demi lembar majalah di hadapannya. Majalah yang edisi kali ini memberikan hadiah sepasang sandal flip-flop itu bukan miliknya, melainkan pinjaman dari Finesha teman sebangkunya.
Brinna selalu merasa rikuh dan jengah dengan semua aktivitas berisik ini. Semua orang tampak sibuk, tampak berperan, tampak bermanfaat. Bosan dengan halaman majalah yang isinya hanya gambar baju-baju supermahal, Brinna beranjak meninggalkan bangkunya.
Di lorong, sederetan anak-anak tampak sibuk memainkan aneka macam alat musik. Si tomboy Kirana terlihat serius dengan gitar yang tengah dipetiknya. Ini pasti anak-anak yang akan menampilkan akustik pada CLASIXZ nanti.
"Hey Brin!" Vidi meninggalkan kertas partitur di hadapannya. Wajahnya cerah sekali. Tak heran dong, karena musik adalah sebagian dari diri Vidi. Dengan mudah dia bisa menggubah aneka macam lagu jadi lebih enak di dengar. "Hei, udahan latihannya?" ujar Brinna, nampak enggan mendekati kerumunan anak-anak akustik.
"Belum sih. Istirahat bentar. Kamu nggak latihan buat CLASIXZ?" tanya Vidi, dia mengelap keringat yang meleleh di sekitar lehernya. Brinna menggeleng dan buru-buru pergi dari situ. Malu kali ya kalau ketahuan dia sama sekali nggak punya sense of music. Membedakan do re mi aja susahnya minta ampun.
Langkahnya terhenti di aula, beberapa gadis nampak asyik bercengkerama. Yang lainnya sibuk mengepas pakaian. Ada pakaian ala putri raja, ada pakaian berbentuk buah-buahan. Semua terkemas dengan tampilan warna-warni yang menyenangkan.
Brinna membayangkan pasti menyenangkan bisa tampil di atas pentas. Bisa ditonton oleh para penghuni sekolah. Mulai Pak Triono, kepala sekolahnya yang bersahaja. Bu Indri, wali kelasnya yang suka banget ngasih banyak tugas.
Apalagi ditonton sama Arantyo, gebetan Brinna sejak kali pertama mereka ikut orientasi. Tapi, aneh juga sih kalau Brinna harus tampil di depan Aranto dengan baju ala pohon beringin atau pohon cemara.
"Lihat deh, aku cantik banget ya?" Priska berlari ke arah Brinna memamerkan gaun dari kain satin putih. "Wah, itu sih kamunya emang udah cantik dari sananya. Bukan gara-gara bajunya," ujar Brinna jujur. Priska tergelak mendengar pujian dari Brinna.
"Lah, kamu kok nggak ikutan audisi sih Brin? Seru banget lho! Kita dites macem-macem. Disuruh akting ini itu. Asyik!" Priska membenarkan letak pita di bagian pinggang baju tersebut.
"Ha ha. Lucu banget kamu ini. Sejak kapan coba aku pinter di dunia peran. Ada-ada aja deh," Brinna memang paling anti berpura-pura. Bukan karena nggak mau, tapi karena memang nggak bisa. Nah, apalagi kalau disuruh akting.
"Eh, yang jadi pemeran utama cowoknya si Arantyo yang ganteng itu lho!" ujar Priska berseri-seri. Hati Brinna sontak berbunga-bunga. Begini juga bagus, bukan Arantyo yang akan melihat dia berakting tapi dia yang akan melihat Arantyo di atas pentas CLASIXZ.
"Wuah, seneng banget dong yang jadi pemeran ceweknya. Aku juga mau tuh," canda Brinna. Beberapa anak teater melambai pada Priska, mengisyaratkan mereka akan segera mulai latihan.
Kantin jadi tujuan Brinna berikutnya. Perutnya mulai melakukan aksi demonstrasi. Rasanya sih sepiring siomay sudah cukup jadi penawar yang tepat. Memang belum ada yang bisa mengalahkan kelezatan bumbu siomay di kantin sekolahnya.
Hari beranjak sore saat belasan anak cheerleaders menghambur ke lapangan basket yang terletak di tengah sekolah. Mia, Alia, Tasya, dan yang lainnya Brinna tidak hafal. Mereka memakai kostum ala pesenam.
Brinna duduk di salah satu bangku yang dapat leluasa melihat ke lapangan. Gerakan-gerakan routine seperti split dan roll dilakukan mereka secara bergantian. Setelah itu mereka berbaris rapi.
Sesaat kemudian Vania, si kapten cheerleaders, memberikan aba-aba pada anggotanya. Gerakan-gerakan piramida berkali-kali dibuat dengan lincah. Tak ada sedikit pun keraguan takut jatuh. "Pulang yuk Brin!" ajak Finesha. Teman sebangkunya ini tahu-tahu sudah berdiri di sebelahnya. "Eh iya, keasyikan lihat anak-anak latihan cheers nih," Brinna menunjuk kea rah lapangan.
Finesha mengangguk, sambil ikutan duduk di sebelah Brinna. "Kamu sendiri nggak latihan?" Brinna menoleh ke arah temannya itu. Untuk pentas seni seminggu lagi, Finesha bakalan tampil bersama anak-anak paduan suara. "Sudah dong. Besok dilanjutin lagi. Makanya aku mau buru-buru pulang. Lapeeer, pengen makan, terus tidur deh." Temannya ini memang hebat, Cuma sekadar bicara saja suaranya sudah merdu. Brinna pernah dengar Finesha menyanyi solo, suaranya bagus.
Bantal guling di kamar berserakan. Pemilik kamarnya malah menyetel musik keras-keras. Ghita, kakak semata wayang Brinna masuk ke kamar adiknya. Mata Ghita terbelalak melihat sisa-sisa kapal pecah di kamar tersebut. Dimatikannya tape yang memutar musik kencang itu. "Ssshh, jangan setel lagu keras-keras. Nanti digerebek sama tetangga-tetangga lho!" tegur Ghita dengan lembut.
"Ah, kakak lebay deh! Nggak mungkinlah sampai digerebek. Paling juga nanti pas arisan mama yang kena omel ibu-ibu," bantah Brinna sambil tertawa.
Ghita menjitak kepala Brinna. "Ada apa sih? Kamarnya sampai berantakan gini. Bantal dibuang-buang pula."
Kakaknya ini memang paling hebat menebak isi hati orang. Atau mungkin lebih tepatnya Brinna-lah yang susah menyembunyikan perasaannya. "Ah, perasaan kakak aja tuh. Aku Cuma iseng aja pengen berantakin," jawab Brinna ngasal.
"Oh, iya deh percaya. Hm, pentas senimu gimana Brin?" Pertanyaan yang telak bikin Brinna merengut. Lah kenapa si kakak malah ngasih topik yang sensitif begini. Jujur saja itulah alasan utama Brinna jadi bete akhir-akhir ini. Perasaan nggak berguna buat nyiapin pentas seninya.
"Kak, aku ini nggak berbakat ya?" pertanyaan yang meluncur itu sungguh-sungguh pertanyaan yang dipendamnya selama ini. Ghita mengernyit heran. Adiknya yang usil dan bawel ini kok mendadak jadi krisis percaya diri.
"Kamu nggak punya bakat? Kata siapa coba?" Brinna mulai menceritakan apa yang dilihatnya di sekolah selama berhari-hari ini. Sebenarnya ia tak terlalu berharap si kakak akan mengerti apa yang dia maksud. Ghita kan berprestasi banget di bidang modeling, pialanya banyak. Belum pernah pasti Ghita merasakan seperti apa yang dirasakannya sekarang.
"Olahraga aku nggak pernah bisa. Seni peran juga nggak hobi. Mau nge-band nggak bisa mainin alat musik apapun," Brinna menghela napas. "Bahkan nih Kak, buat sekadar nge-MC yang kata orang modal cerewet aja, aku nggak bisa. Huh!" Ghita menatap adiknya itu. "Kamu punya bakat. Tapi, Kakak nggak mau kasih tahu. Harus kamu yang gali bakat itu sendiri," ujar Ghita.
"Ah, Kakak nggak asyik!"
Seminggu berikutnya Brinna berkutat dengan dirinya sendiri. Dia tidak ingin jadi orang yang hanya datang, diam lalu menonton. Ditambah lagi, inilah tahun terakhir ia bersekolah di SMA Garuda. Harus ada kenangan bagus yang ditinggalkannya.
Hari H acara CLASIXZ tiba. "Siap tim?" tanya Yason, ketua pelaksana acara, kepada para panitia yang sudah lengkap memakai kaus bertulisan "CREW" plus ID card. Mereka sedang melakukan briefing karena dalam tiga jam lagi acara akan dimulai. "Siap!!!" Semua kompak menjawab, termasuk Brinna.
"Brin, tolong dikomando ya," ujar Yason kemudian. Brinna mengacungkan jempolnya. Countdown acara berjalan. Satu per satu pengisi acara bergantian tampil silih-berganti. Brinna sibuk berlari ke sana kemari. Di tangannya tergenggam handie-talkie untuk berkomunikasi dengan panitia lain.
Brinna tak pernah sadar. Bakatnya memang bukan berada di bidang seni. Tapi lebih dari pada itu. Ia adalah seorang konseptor acara yang hebat. Sayangnya, selama ini Brinna kurang mau ikut acara kepanitiaan. Mungkin dia harus bersyukur dengan paksaan dari Yason. Saat itu, salah seorang anggota seksi acara mendadak sakit demam berdarah. Mereka harus mencari penggantinya. Yason yang merupakan teman Brinna sejak SD dengan semangat '45 merekomendasikannya.
"Hm, jadi gimana? Masih merasa nggak berbakat setelah kamu mampu merancang dan merealisasikan acara sebagus ini?" tiba-tiba saja Ghita sudah berdiri di backstage entah sejak kapan.
jawapos.com



No comments:
Post a Comment